Minggu, 09 Oktober 2011

MEMINTA JABATAN

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim, Abu Musa al-Asy'ari menceritakan, "Aku bersama dua orang anak pamanku masuk menemui Nabi SAW. Salah satu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jadikanlah kami pemimpin pada sebagaian perkara yang Allah berikan kepadamu." Orang kedua pun berkata demikian. Lalu beliau bersabda, "Demi Allah, sungguh kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula kepada orang yang rakus kepadanya."

Dalam beberapa keterangan, meminta, yang dalam konteks hadist ini menggunakan kata 'sa'ala' (sa'ala - yas'alu = meminta) merupakan padanan kata yang dekat dengan istilah haus dan rakus karena cara-cara yang dilakukan oleh orang tersebut dianggap tidak etis karena terang-terangan meminta jabatan yang diinginkannya. Kata sa'ala ini juga dalam terminologi orang-orang Arab diterjemahkan juga dengan arti mengemis. Itulah sebabnya dalam beberapa ayat Alqur'an kata sa'ala juga digunakan untuk meminta/berdo'a kepada Allah. Manusia meminta (dengan cara mengemis) kepada Allah agar diberikan sesuatu yang dimintanya, seperti kata Allah, "Idzaa sa'alaka ibadii 'annii fainnii qariib", jika hambaku meminta kepadaku, maka katakan Aku sangat dekat. Meminta kepada Allah tentu saja kita memposisikan diri sebagai manusia yang rendah, hina, sehingga harus dengan cara mengemis.

Dalam hadist lain yang diriwayat oleh Abdul Rahman bin Samurah berkata, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, "Wahai Abdur Rahman bin Samurah, jangan engkau minta kekuasaan, karena jika engkau diberi kekuasaan dengan cara meminta, maka engkau akan diserahkan (dibiarkan) kepada kekuasaan itu. Dan jika engkau diberi kekuasaan, bukan karena meminta, maka engkau akan diberi pertolongan atasnya. Dan jika engkau bersumpah atas sesuatu, lalu engkau melihat ada yang lebih baik darinya, maka beralihlah kepada yang lebih baik itu, dan bayarlah (kafarat) atas pelanggaran sumpahmu,"

Jika kita urai beberapa kalimat dalam hadist ini, maka dapat memperjelas konten hadist ini lebih detil:

Jangan engkau minta kekuasaan, karena jika engkau diberi kekuasaan dengan cara meminta, maka engkau akan diserahkan (dibiarkan) kepada kekuasaan itu. Ini artinya, pada saat kita meminta suatu jabatan, maka orang lain beranggapan bahwa si peminta jabatan memiliki kemampuan dengan jabatan yang diminta tersebut, sehingga di tengah perjalanan orang akan membiarkannya menjalankan sendiri apa yang dia janjikan saat dia meminta jabatan, padahal sebenarnya dia tidak memiliki kemampuan untuk itu. Jabatan hanyalah digunakan untuk kebanggaan, prestise untuk mengaktualisasikan diri di depan khalayak dalam rangka meningkatkan status sosial yang sebenarnya semu.

Dan jika engkau diberi kekuasaan, bukan karena meminta, maka engkau akan diberi pertolongan atasnya. Seseorang jika dia mendapatkan jabatan karena dipercaya oleh orang lain itu karena orang tersebut sudah memiliki kredibilitas sebelumnya dan orang sudah melihat kesungguhan dan hasil kerjanya, sehingga banyak orang menginginkan agar jabatan itu disematkan untuknya. Jika seandainya pejabat tersebut tidak mampu melakukan sesuatu, maka orang-orang yang dulu memilihnya, secara moril bahkan materil dengan sendirinya akan memberikan dukungan kuat. Kalaupun ternyata ada sebagian yang tidak mendukung, maka kemungkinan orang tersebut sebelumnya menginginkan jabatan itu dengan cara yang tidak etis namun tidak berhasil, sehingga merasa tidak perlu peduli dengan apa yang dilakukan pejabat tersebut, bahkan mengharapkan kehancuran atasnya.

Dan jika engkau bersumpah atas sesuatu, lalu engkau melihat ada yang lebih baik darinya, maka beralihlah kepada yang lebih baik itu, dan bayarlah (kafarat) atas pelanggaran sumpahmu,". Ini merupakan konsekuensi dari seorang jika melihat ada yang lebih pantas untuk diberi amanah, maka kita harus berlapang dada untuk mendukung yang lebih baik dari kita (lebih sedikit mudharatnya). Dan jika pejabat yang mendapatkan jabatannya dari hasil meminta dengan tidak etis, kemudian gagal menjalankan amanah, maka dia wajib membayarnya (kafarat); Di beberapa negara, kafarat ini mungkin bisa diterjemahkan dengan mengundurkan diri karena tidak mampu, padahal dia sudah berjanji dan menyatakan memiliki kemampuan untuk mengemban amanah itu, tapi ternyata dalam perjalanannya, dia tidak mampu.

TIDAK BOLEHKAN MENDUDUKI JABATAN?

Memangku sebuah jabatan bukan tidak boleh, tetapi bukan dengan cara-cara meminta dengan melakukan gerakan yang berlebihan agar diberi jabatan, sementara kita belum tahu kapasitas kita apakah mampu mengemban amanah itu atau tidak di tengah kondisi yang selalu berubah setiap saat.

Selain itu, untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat, tidak selalu bergantung pada jabatan karena kapasitas yang kita miliki pasti akan sampai sesuai pada tempatnya tanpa harus dengan jabatan. bahkan banyak orang yang tidak menjabat tapi bisa memimpin sejumlah aktifitas yang bermanfaat dan memiliki pengaruh yang baik. Sejatinya, dalam sebuah komunitas atau organisasi, manusia-manusia yang memiliki kapasitas seperti inilah yang mestinya tumbuh agar kekuatan organisasi seimbang dalam menjalankan roda organisasinya, sementara pejabat atau ketua hanyalah merupakan simbol struktur untuk memudahkan pengaturan dan pembagian 'jatah' berkomunikasi dengan berbagai pihak, dan ketua, wakil, sekretaris, bendahara serta semua anggota adalah suatu kesatuan yang harus diakui kapasitasnya sebagai penggerak semua roda gerigi agar terus berputar.