Selasa, 09 Agustus 2011

Substansi Sistem Syariah

Masih menjadi pertanyaan bagi sebagian besar masyarakat kita, khususnya yang sering berhubungan dengan pihak perbankan Syariah untuk mengajukan pinjaman baik konsumtif maupun produktif. Pola pikir masyarakat kita masih berkutat pada persoalan hitung-hitung secara kuantitatif, dan ini sangat manusiawi karena berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran serta hajat hidup atau karena terkoptasinya pola pikir masyarakat yang sudah sejak lahir negeri ini menjalankan sistem kapitalisme.

Sederhananya, saat seorang nasabah ingin mengajukan pinjaman modal usaha atau pinjaman lain yang bersifat konsumtif, pertanyaan pertama yang muncul adalah 'berapa persen bunga pinjamannya?'.


Pertanyaan ini selalu diluncurkan baik kepada petugas bank syariah maupun konvensional, ini yang saya maksud hitung-hitungan kuantitatif, tujuannya tidak lain untuk mengetahui seberapa besar seorang nasabah harus membayar cicilan pada setiap bulannya dan berapa jumlah total yang harus dibayarkan kepada pihak bank.

Dalam sistem syariah, walaupun ada unsur kuantitatif sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, tetapi sebenarnya secara substansi jelas tidak sama. Dalam sistem syariah tidak dikenal dengan istilah bunga, tetapi bagi hasil. Dimanakah bedanya?

Bunga vs Bagi Hasil

Menurut kamus online Wikipedia, Bunga adalah imbal jasa atas pinjaman uang. Imbal jasa ini merupakan suatu kompensasi kepada pemberi pinjaman atas manfaat kedepan dari uang pinjaman tersebut apabila diinvestasikan. Jumlah pinjaman tersbut disebut "pokok utang" (principal). Persentase dari pokok utang yang dibayarkan sebagai imbal jasa (bunga) dalam suatu periode tertentu disebut "suku bunga"

Bagi Hasil (Profit Sharing), menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan; dalam Kamus Ekonomi diartikan dengan Pembagian Laba.

Dari definisi di atas, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara keduanya. Bunga diperoleh dari persentase Pokok Utang, sedangkan Bagi hasil diperoleh dari persentase Laba. Ini berarti bahwa besaran bunga sifatnya tetap sedangkan besaran bagi hasil bersifat fluktuatif sesuai dengan kondisi usaha dan laba yang diperoleh, sehingga kemungkinan besaran bagi hasil berada pada jumlah yang sangat kecil bisa terjadi, dan sebaliknya, pada saat laba yang diperoleh berjumlah besar, maka bagi hasil yang harus ditunaikan juga besar.

Ilustrasi

Berikut ilustrasi nasabah yang melakukan pinjaman pada sistem konvensional dan syariah;

Si A meminjam dana di bank konvensional sebesar Rp. 10.000.000.- (Sepuluh Juta Rupiah) dengan masa cicilan selama 1 tahun (12 bulan), dengan bunga pertahun sebesar 11%. Maka perhitungannya adalah:
Cicilan Pokok perbulan; Rp. 10.000.000 : 12 bulan = Rp. 833.333.-
Cicilan Bunga perbulan; Rp. 10.000.000 x 11% : 12 bulan = Rp. 100.000.-
Maka cicilan setiap bulannya adalah :Pokok + Bunga = Rp. 933.333.-

Dengan masa cicilan selama 1 tahun (12 bulan), maka total yang harus disetor ke bank adalah :
Rp. 933.000.- x 12 bulan = Rp. 11.200.000.-

Dengan soal yang sama, jika diterapkan pada sistem syariah, maka perhitungannya adalah seperti berikut:
Cicilan Pokok perbulan; Rp. 10.000.000 : 12 bulan = Rp. 833.333.-
Bagi Hasil perbulan; Rp.... = Rp. (Laba x 11%)
Maka cicilan setiap bulannya adalah :Pokok + Bagi hasil = Rp. 833.333 + (11% x Laba)

Dua sistem ini menunjukkan hasil yang berbeda pada cicilan setiap bulannya. Pada sistem konvensional cicilan perbulan tetap sebesar Rp. 933.333 hingga habis masa 12 bulan perjanjian utang, sedangkan pada sistem syariah akan berbeda setiap bulannya karena laba yang diperoleh tidak tetap, bisa jadi pada bulan-bulan tertentu Rp. 933.000, tetapi pada bulan lain Rp. 1.000.000, bahkan jika pihak nasabah tidak mendapatkan laba, maka cicilannya hanya sebesar pokok utang saja.

Substansi

Ilustrasi di atas menunjukkan substansi yang sangat berbeda. Pada konvensional, pihak bank tidak mau tahu apakah nasabah tidak memperoleh laba, atau bahkan rugi, namun cicilan perbulan tetap sebesar Rp. 933.333, hingga banyak usaha-usaha kecil yang kurang pembinaan menjadi bangkrut karena harus menjual aset untuk menutupi utang. Sedangkan pada sistem syariah, pihak nasabah membayar sesuai laba yang diperoleh. Karena perolehan laba yang begitu fluktuatif pada sistem syariah, maka pihak bank mestinya peduli terhadap keberlangsungan usaha nasabah dengan cara melakukan pembinaan agar tidak merugi, karena jika merugi, maka pihak bank juga akan menanggung resikonya atau memperoleh bagi hasil yang kecil.

Dalam sistem konvensional, tidak dibutuhkan kejujuran karena nasabah harus membayar cicilan sesuai perjanjian terlepas apakah usahanya merugi atau untung. Sedangkan pada sistem syariah, kejujuran menjadi hal yang sangat inti karena jika tidak jujur, maka nasabah akan membuat laporan keuangan usahanya dengan membukukan laba yang kecil agar setoran/cicilan hutangnya semakin kecil. Oleh karena itu, kedua pihak, bank syariah dan nasabah menjadi sama-sama memiliki beban dan tanggung jawab, dimana pihak bank memiliki tanggungjawab pembinaan agar nasabah tidak merugi (yang juga berarti merugikan bank), sementara nasabah juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan modalnya dengan cara mengupayakan agar laba tetap besar.

Pada sistem syariah keluaran yang menjadi orientasinya adalah kualitas usaha dan kualitas manusianya karena mempertaruhkan moral untuk tetap berlaku jujur.


3 komentar:

  1. http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2011/08/10/secuil-substansi-sistem-syariah/

    BalasHapus
  2. info penteng yang jroh that. thanks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimong Geunaseh pak Athoe... Semoga bermanfaat :-)

      Hapus