Jumat, 03 Juni 2011

Garuda Pancasila

Dalam Inpres Nomor 12 tahun 1968, Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar adalah; "satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Butir-butir kelima sila tersebut sungguh mencerminkan suatu nilai-nilai keber-agama-an, keberagaman, kebangsaan serta kebersamaan dalam gambaran komunitas yang memiliki corak sosio-kultural yang berbeda tapi memiliki kekuatan perekat yang sangat mengagumkan. Sebagaimana dilambangkan oleh cengkeraman kaki Garuda yang menggenggam erat pesan Bhineka Tunggal Ika.


Nilai-nilai yang terkandung dalam keberagaman sosio-kultur masyarakat Indonesia telah lama menempel di alam pikir seluruh rakyat dan menjadi mainstream pola fikir dalam pergumulan baik dalam maupun di luar negara. Mengarus-utama-nya pola fikir yang dilandasi oleh nilai-nilai falsafah Pancasila tersebut jelas menampakkan jejak kepribadian yang positif karena disana semua orang merasakan bahwa nilai-nilai falsafah Pancasila mengandung makna yang immaterial. Kecenderungan karakter yang terbentuk adalah karakter yang bernilai spiritual, bukan sebaliknya, menjadikan kesenangan atau kenikmatan sebagai pandangan hidup (hedonisme), dan filsafat yang menyatakan bahwa yang benar-benar ada adalah materi (materialisme).

Falsafah Pancasila vs Prinsip Kapitalis
Realitanya, bahwa semenjak genderang 'kultur universal' ditabuh, kita tak memiliki tameng yang kuat menghadapi pisau globalisasi. Skenario Global secara total mengepung semua sudut nilai-nilai immateri yang telah lama disuntikkan dalam kepala semua masyarakat Indonesia. Garuda tak lagi mampu terbang, sayapnya tak lagi 'melindungi' kita dari terpaan sinar matahari, matanya tak lagi tajam menatap mimpi anak negeri, kukunya tak kuat lagi menggenggam lambang kebinekaan, bulunya tak lagi mendekap untuk menghangatkan.

Skenario global yang ditabuh cenderung untuk menciptakan komunitas dunia yang tunduk pada satu hegemoni ekonomi, dimana komunitas tertentu harus menjadi tuan produsen yang memiliki kaki tangan di setiap sudut kota se-dunia. Celakanya, kaki tangan ini adalah orang-orang yang berkoar mengkampanyekan nasionlisme untuk melindungi kedaulatan negaranya di satu sisi, sementara di sisi lain mereka menggerogoti dari dalam. Pada titik ini, nilai falsafat yang penuh dengan aroma semangat juang berganti dengan semangat untuk mengumpulkan uang semata. Dimana bisa bermuara nilai falsafah Pancasila dengan prinsip kapitalis yang sedang kita jalankan?

Kapitalisme menancapkan falsafah sosial dan politiknya pada azas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya serta perluasan faham kebebasan yang pada kenyataannya cenderung mengabaikan nilai-nilai alias kebablasan. Sementara Pancasila menanamkan nilai-nilai kepribadian yang cenderung immaterial. Kapitalisme saat ini justeru menjadi pandangan hidup dengan menjadikan materialisme sebagai tujuan akhir. Pancasila? Terkulai bersama Garuda.

1 komentar: