Kamis, 06 September 2012

Siapa yang diwajibkan ber-qurban

Re: [assunnah] Siapa yang diwajibkan ber-qurban ?

Email : Dari file CHM al-manhaj.

Qurban lebih mendekati hukum "WAJIB" bg yang mampu.

Berikut kutipannya...
HEWAN KURBAN

Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari

Kurban adalah kambing yang disembelih setelah melaksanakan shalat Idul Adha

dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena Dia Yang Maha Suci dan

Maha Tinggi berfirman.

"Artinya : Katakanlah : sesungguhnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan

matiku adalah untuk Allah Rabb semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya"

[Al-An'am : 162]

Nusuk dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan

diri kepada Allah Ta'ala.[1]

Ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban. Yang tampak paling rajih

(tepat) dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib. Berikut ini

akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits yang

dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :

PERTAMA

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Siapa yang memiliki kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih

kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami" [2]

Sisi pendalilannya adalah beliau melarang orang yang memiliki kelapangan

harta untuk mendekati mushalla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini

menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada

faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban

ini.

KEDUA

Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku

menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah

ia mengulang dengan hewan lain, dan siapa yang belum menyembelih kurban maka

sembelihlah" [3]

Perintah secara dhahir menunjukkan wajib, dan tidak ada [4] perkara yang

memalingkan dari dhahirnya.

KETIGA

Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu

'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda.

"Artinya : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih 'atirah[5] setiap

tahun. Tahukah kalian apa itu 'atirah ? Inilah yang biasa dikatakan orang

dengan nama rajabiyah" [6]

Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun 'atirah telah dihapus

hukumnya (mansukh), dan penghapusan kewajiban 'atirah tidak mengharuskan

dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap sebagaimana asalnya.

Berkata Ibnul Atsir :

'Atirah hukumnya mansukh, hal ini hanya dilakukan pada awal Islam.[7]

Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat

mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih

kurbanhukumnya sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah

-pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka

janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya".

[8]

Mereka berkata [9] :

"Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan

kurbantidak wajib, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

bersabda : "Jika

salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ...." , seandainya wajib

tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah)

seseorang".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini

setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya [10]

"Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka

satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

: "Siapa yang ingin menyembelih kurban ....." Mereka Berkata : "Sesuatu yang

wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah (kehendak/keinginan) !" Ini

merupakan ucapan yang global, karena kewajiban tidak disandarkan kepada

keinginan hamba maka dikatakan : "Jika engkau mau lakukanlah", tetapi

terkadang kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu

hukum dari hukum-hukum yang ada. Seperti firman Allah :

"Artinya : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ...."

[Al-Maidah : 6]

Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin

membaca Al-Qur'an maka berta'awudzlah (mintalah perlindungan kepada Allah).

Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur'an

(Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.

Dalam ayat ini Allah berfirman :

"Artinya : Al-Qur'an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi

siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus" [At-Takwir :

27]

Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib".

Kemudian beliau rahimahullah berkata [11] :

Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban.

Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang

dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata :

"Artinya : Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera

menunaikannya ..... " [12]

Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda beliau : "Siapa yang

ingin menyembelih kurban ..." sama halnya dengan sabda beliau : "Siapa yang

ingin menunaikan ibadah haji ........"

Imam Al-'Aini [13] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka

yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab

"Al-Hadayah"[14] yang berbunyi : "Yang dimaksudkan dengan iradah

(keinginan/kehendak) dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu a'lam- adalah

lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya -pent)".

Al-'Aini rahimahullah menjelaskan :

"Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan kebolehan,

maka jadilah seakan-akan ia berkata : "Siapa yang bermaksud untuk

menyembelih hewan kurban di antara kalian", dan ini tidak menunjukkan

dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :

"Artinya : Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu" [15]

Dan sabda beliau.

"Artinya : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum'at maka

hendaklah ia mandi" [16]

Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum'at, (jadi) bukanlah takhyir ....

Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana

diriwayatkan dalam "Sunan Abi Daud" (2810), "Sunan At-Tirmidzi" (1574) dan

"Musnad Ahmad" (3/356) dengan sanad yang shahih dari Jabir- bukanlah

pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu untuk orang yang

tidak mampu dari umatnya.

Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya

kewajiban ini.

Wallahu a'lam

[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-'iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi

Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul

Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah

Ummu Ishaq Zulfa Husein]

_________

Foote Note.

[1]. Lihat Minhajul Muslim (355-356)

[2]. Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277),

Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanadnya hasan

[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa'i (7/224),

Ibnu Majah (3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).

[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh

orang-orang yang berpendapat bahwa hukum menyembelih kurban adalah sunnah,

nantikanlah.

[5]. Berkata Abu Ubaid dalam "Gharibul Hadits" (1/195) : "Atirah adalah

sembelihan di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada

Allah dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga

dihapus setelahnya.

[6]. Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788)

Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa'i (7/167) dan dalam sanadnya

ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits ini memiliki

jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi

menghasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari

(10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)

[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat 'Al-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin

naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan "Al-Mughni" (8/650-651).

[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa'i (7/211dan 212),

Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan

(6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam "Syarhu Ma'anil

Atsar" (4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.

[9]. "Al-majmu" 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj" (4/282) 'Syarhus Sunnah"

(4/348) dan "Al-Muhalla" 98/3)

[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).

[11]. Sama dengan di atas

[12]. Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu'aim

dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada kelemahan.

Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi (2/28),

Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan padanya ada kelemahan juga, akan tetapi

dengan dua jalan haditsnya hasan Insya Allah. Lihat 'Irwaul Ghalil" oleh

ustadz kami Al-Albani (4/168-169)

[13]. Dalam 'Al-Binayah fi Syarhil Hadayah" (9/106-114)

[14]. Yang dimaksud adalah kitab "Al-Hadayah Syarhul Bidayah" dalam fiqih

Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan

dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam "Kasyfudh Dhunun" (2/2031-2040). Kitab

ini merupakan karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun

(593H), biografinya bisa dilihat dalam 'Al-Fawaidul Bahiyah" (141).

[15]. Aku tidak mendapat lafadh seperti iin, dan apa yang setelahnya cukup

sebagai pengambilan dalil.

[16]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun

Bukhari, ia meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor

(877), 9894) dan (919)


SUMBER :  http://groups.yahoo.com/group/assunnah/message/29773

Tidak ada komentar:

Posting Komentar