Selasa, 09 Oktober 2012

Koruptor Lebih Keren Dari pada Maling

Semkin rumit kita lihat fenomena yang terjadi di negeri ini, bagaikan api dalam sekam yang menyimpan hawa yang luar biasa panasnya, dan sewaktu-waktu (jika dibutuhkan atau tidak) dapat menyulut api yang membakar apa saja di sekitarnya. Api dalam sekam tak mungkin menghambur keluar menjadi lidah yang menjilat-jilat hingga jauh kalau tak ada penyebabnya.
Beberapa peristiwa yang mengkhawatirkan sudah sering kita saksikan di berita-berita media tivi dan cetak; tawuran pelajar, tawuran antar kampung sesama masyarakat, bentrokan warga sipil dengan militer, pengadilan jalanan terhadap pencuri sandal hingga rusuh di dalam ruang sidang pengadilan yang sedang menyidang pencuri baju di pasar. Di tempat lain koruptor terus berpesta-pora menertawakan keadaan. Fenomena ini sungguh ironis, bangsa ini sudah terlanjur menampilkan diri dengan sosok manusia yang berke-Tuahan-an yang Maha Esa, mengaku sebagai manusia yang adil dan beradab, bertekad menjaga persatuan, bermasyarakat dengan hikmah bijaksana dan menjunjung tinggi musyarawah dalam menyelesaikan masalah, serta bercita-cita untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Ada apa dengan bangsa ini? Ada apa dengan negeri ini? Ada apa dengan anak-anak bangsa ini?

Melihat fenomena yang terjadi dan sering berulang, seperti ada sesuatu yang tak terselesaikan sehingga memuncak menjadi satu gerakan massa yang merasa bosan dengan keadaan. Harapan-harapan yang digantungkan kepada penguasa sebagai pengambil kebijakan tak terasa signifkan menyelesaikan masalah jika tidak ingin dikatakan melakukan pembiaran. Justeru berbalik arah menjadi pelaku yang merusak norma-norma yang telah mereka bangun sendiri. Mencuri uang negara dengan cara yang terang-terangan, memanipulasi hukum untuk kepentingan pribadi dan golongannya dalam rangka mengamankan status quo, serta sumber-sumber dana milik rakyat.

Rakyat yang menonoton ‘sandiwara’ ini sudah jengah dan juga iri. Mereka bekerja keras bantng tulang dan membayar pajak untuk Negara, tetapi uang mereka digerus oleh para pejabat korup yang mereka percayakan sebagai pemimpin untuk memakmurkan dan mensejahterakan mereka. Tapi harapan itu sama sekali tak mereka dapatkan. Satu-satunya jalan adalah melakukan pelampiasan melalui apa saja yang dapat memuaskan perasaan mereka. Simbol-simbol itu dilakukan dengan cara menghakimi pencuri tak berkelas di pasar-pasar tradisional, demonstrasi sambil menari-nari dan bakar-bakar hingga tindakan anarkis lainnya.

Tingkat kebosanan rakyat sudah memasuki batas wilayah psikologi massa abstrak yang menurut Mennicke terjadi karena tiga faktor, yakni; karena (1) adanya kejadian menarik, (2) individu mendapat ancaman, dan (3) kebutuhan tidak terpenuhi. Faktor-faktor ini masih cenderung bersifat individu, dimana setiap orang merasakan hal yang sama tetapi belum melakukan gerakan yang yang benar-benar action secara massal dan terstruktur karena mereka masih menyimpan harapan akan adanya penyelesaian dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.

Mungkin pada situasi massa abstrak ini tidak ada proses yang memuaskan dari pengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah sehingga kecenderungan yang terjadi bisa dua gendangnya; individu-individu bersikap apatis, atau individu-individu justeru semakin bergerak ke tingkatan psikologis selanjutnya yang lebih terkonsentrasi dan mengarah pada aksi, baik itu damai ataupun dengan cara yang anarkis.

Jika individu-individu bersikap apatis, maka situasi untuk sementara dapat terkendali tetapi bukan berarti bahwa masalah tersebut selesai dan closed. Karena di sisi lain individu-individu lain yang merengsek maju ke tingkat psikologis selanjutnya juga semakin bertambah dengan karakter yang variatif dan bisa jadi sulit dikendalikan. Mereka ini akan sampai pada tingkatan psikologis yang dikatakan oleh Mennicke sebagai massa konkrit dengan ciri-ciri; (1) adanya kesatuan mind dan sikap, (2) adanya ikatan batin dan kesamaan norma, (3) ada struktur yang jelas, (4) bersifat dinamis dan emosional, sifat massa jelas.

Massa aktif ini muncul karena adanya tindakan nyata seperti demonstrasi, perkelahian massal dan sejenisnya. Hal ini menurut Mc Laughlin dilatarbelakangi oleh paling tidak tiga hal; (1) adanya problem yang cukup serius, (2) upaya penyelesaian problem yang tertunda, (3) adanya keyakinan dalam kelompok massa bahwa problem harus diselesaikan.

Tiga hal ini jika tak segera dicarikan solusinya, atau lambat mengambil keputusan dalam penyelesaiannya, maka akan terjadi ketidakpuasan yang dapat mempercepat kematangan massa aktif. Massa aktif yang matang akan menimbulkan tekanan jiwa dengan konsekuensi memuncaknya tekanan hingga meledak.

Fenomena yang terjadi di negeri kita selama dua periode kepemimpinan terakhir telah memenuhi unsur-unsur massa aktif dan sedang berlangsung hingga sekarang. Dan seperti kita lihat, peristiwa-peristiwa memilukan di tengah masyarakat belum mendapat sentuhan yang bijak, bahkan dengan cara yang lebih tersetruktur para koruptor sampai hati atau tidak punya hati mempertontonkan perilaku mereka mencuri uang negara yang mestinya bisa dialokasikan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat banyak. Apa bedanya mereka dengan pencuri sandal di pasar yang memiliki resiko yang sangat tingga jika dikepung massa? Padahal nilainya tidak seberapa dan tidak merugikan rakyat banyak?

Seperti kata salah seorang murid sekolah copet, yang membedakan copet dengan koruptor hanyalah sekolahnya saja. kalau maling yang tidak sekolah namanya, ya maling atau copet. Tapi kalau mereka ingin pendapatannya meningkat jauh, maka mereka harus sekolah agar bisa mencopet uang negara, meraka akan diberi gelar sebagai Koruptor. Sedikit lebih keren dan terasa lebih terhormat.

1 komentar:

  1. Sudah diposting di: http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/10/koruptor-lebih-keren-dari-pada-maling/

    BalasHapus