Rabu, 29 Desember 2010

Daya Beli Masyarakat Lemah

Seperti kota-kota lain di Indonesia, Banda Aceh sebagai ibukota provinsi terlihat menggeliat secara fisik. Pembangunan jalan, pertokoan dan perumahan-perumahan di lokasi baru semakin ramai, bahkan tak terlihat lagi bahwa Banda Aceh merupakan kota yang pernah diterjang tsunami.

Selain itu, ada pemandangan lain yang lebih meyakinkan pengunjung kota Banda Aceh, yaitu semakin banyaknya masyarakat yang menggunakan kendaraan baru dari berbagai merk dan jenis kendaraan yang terbilang mewah, mondar-mandir dengan plat nomor yang masih percobaan.

Trend ini sekilas memperlihatkan betapa kokohnya daya beli masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya. tapi apakah benar demikian?

Pembangunan Rumah Toko (Ruko) Meningkat

Benar, banyak ruko yang dibangun, bahkan hampir di seluruh jalan-jalan protokol yang baru dibuka sudah berdiri toko-toko bertingkat tiga, bejejer dari pangkal hingga ke ujung jalan, tapi jika kita perhatikan baik-baik, toko tersebut hanya sebagian yang terisi, selebihnya ditempel kertas dengan tulisan "toko ini dijual, hubungi 081269*****,", "Disewakan hub 081269*****," dan pesan-pesan lain yang menunjukkan bahwa toko tersebut belum mendapat pembeli atau penyewa.

Dan perhatikan perokoan lama yang sudah berisi, barang penuh, dan nyaris tak ada tempat kosong, semua dinding toko tertutup dengan ramainya barang, dan pemandangan ini kita lihat sama sepanjang hari selama berbulan-bulan dengan barang yang sama, tempat yang sama, dan sedikit berdebu. Barang tersebut tak bergerak dari tempatnya karena tidak ada yang membeli.

Kalau pun ada masyarakat yang masuk ke pertokoan menawar barang, lihatlah ketika mereka keluar dari toko, jarang sekali mereka menenteng barang belanjaan, hanya berputar-putar dan keluar masuk toko untuk melihat-lihat harga yang sesuai dengan isi kantong.

Para pemilik modal sulit melakukan 'kembang biak uang' hingga mereka lebih memilih membangun toko dengan harapan dapat disewakan atau dijual dengan mendapat keuntungan yang besar. Tapi kenyataannya Toko tersebut tak ada yang beli, kalaupun ada yang membeli, si pembeli tak sanggup mengisi, jika mereka sanggup mengisinya, maka barang tersebut hanya menjadi aksesoris dalam toko karena masyarakat sekarang sedang tidak punya uang. Akhirnya toko dijual kembali karena uang yang mereka tanamkan untuk membeli toko dan mengisi barang, tak berputar, perputaran uang sangat lambat.

Mobil Mewah

Fenomena lain yang terlihat adalah semakin ramainya kendaraan roda empat yang terbilang jenis kendaraan mewah memenuhi jalan-jalan di kota. Pemiliknya mulai dari kontraktor hingga pegawai biasa, kemudahan yang diberikan produsen dalam memperoleh produk mereka sangat memungkinkan siapa saja dapat memiliki mobil mewah dengan cepat karena ada fasilitas kredit yang diberikan dengan DP yang kecil dan cicilan yang masih bisa ditutupi melalui gaji perbulan.

Jika kita perhatikan, keberadaan mobil mewah di Banda Aceh dan mungkin kota-kota lain di Aceh, hanya sebentar. 3 atau mungkin sampai 6 bulan, setelah itu mobil tersebut menghilang, ditarik dealer karena menunggak kredit, atau dijual dengan over credit, atau bahkan tukar tambah untuk memperkecil pembayaran kredit setiap bulannya. Semua ini karena satu alasan, tak sanggup menutupi kredit.

Banyak toko kelontong dan swalayan tutup

Beberapa toko swalayan dan kelontong menengah ke bawah juga banyak yang gulung tikar, karena kecilnya perputaran uang, keuntungan yang diperoleh juga sedikit, bahkan tak mampu mencapai break even point bagi usaha-usaha baru, maka jalan satu-satunya adalah menutup usaha mereka.

beberapa kasus yang terlihat saat ini adalah; Swalayan Barata yang menjadi satu-satunya swalayan raksasa di Bireuen, beberapa bulan lalu tutup total, Pante Pirak Banda Aceh yang selama ini menjadi idola masyarakat Banda Aceh untuk tempat belanja, sebagian etalase di dalam sudah mulai ompong-ompong dan peralatan fundland akan ditarik ke daerah.

Dibukanya Hermes Palace Mall di Beurawe juga awalnya mendapat sambutan hangat dari masyarakat kota Banda Aceh karena ada tempat belanja alternatif selain Pante Perak, tapi menjelang setengah tahun umurnya, terlihat dari luar seperti gedung mewah yang kosong. Ruangan masih banyak yang tidak terisi karena belum ada pengusaha yang berani berspekulasi berdagang disana.

Rekan-rekan pedagang di Pasar Aceh yang setiap hari berdagang di lapak bawah tenda, satu-persatu mundur dan mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Jika kita tanyakan kepada para pedagang di Banda Aceh tentang situasi ini, maka mereka umumnya menjawab karena lemahnya daya beli masyarakat saat ini.

Uang yang beredar di pasar lusuh

Banda Aceh merupakan ibukota provinsi Aceh yang banyak dikunjungi oleh tamu-tamu dari luar dimana mereka sudah tentu membawa uang untuk kebutuhan sehari-hari selama berada di Banda Aceh. Ini sangat membantu adanya pertambahan peredaran uang dari luar sehingga perputaran ekonomi lebih terasa menggeliat.

Tetapi kondisi ini tidak sama dapat dirasakan oleh kota-kota di kabupaten lain di Aceh. Uang yang berputar terasa sangat lambat karena hanya uang itu-itu saja yang beredar dan digilir oleh masyarakat ketika mereka menerima kembalian uang hingga uang tersebut lusuh dan lemas seperti tissue.

Uang baru akan mulai terlihat pada saat para pegawai menerima gaji dan belanja di pasar, atau jika proyek-proyek besar dilaksanakan di daerah tersebut. Atau jika di kabupaten/kota tersebut terdapat industri nasional atau industri perkebunan yang berskala besar. Jika tidak, tidak ada suntikan uang yang dapat mendorong bergeraknya ekonomi di daerah setempat; ekonomi macet, pengangguran terus bertambah, penyakit sosial bermunculan hingga terjadi pencurian, perampokan bahkan perampokan yang disertai dengan pembunuhan. Penyakit sosial ini hanya punya satu tujuan, yakni upaya memindahkan uang yang ada di kantong orang lain ke kantong mereka. Ini merupakan upaya yang tergolong nekad karena kesulitan hidup yang membelit keluarga mereka.

Upaya yang bisa dilakukan, salah satunya adalah, pemerintah harus cepat bertindak membuka kran bagi pihak ketiga untuk berinvestasi di daerahnya dengan memanfaatkan kekayaan Sumber Daya Alam yang tersedia. Hal ini dapat menciptakan lapangan kerja baru dan dapat menggerakkan roda perekonomian daerahnya.

Selain itu, pemerintah harus mempermudah pencairan dana pekerjaan pembangunan seperti proyek-proyek yang dapat menampung ribuan tenaga kerja.

2 komentar:

  1. Aida (379)

    Di Banda Aceh juga kita ketahui banyaknya pendatang anak-anak remaja yang melanjut studynya ke perguruan tinggi disini,itu juga membuat faktor daya beli lemah karena para mahasiswa kos dan harus serba hemat.

    Mengenai swalayan seperti Barata di Bireuen tempat asal saya, pernah saya berkunjung ke swalayan tersebut dan pernah saya bertanyak sama orang-orang yang masuk ke situ, ternyata yang membuat para pembeli keluar dengan tangan kosong itu disebabkan harga yang ditawarkan disitu tidak sesuai dengan harga pasaran lainnya, padahal merek dan bentuknya sama seperti di toko lainnya bahkan warna pun sama,tetapi haranya jauh berbeda. Jadi para pengunjung lebih memilih untuk membeli di tempat lain.

    BalasHapus
  2. Aida, semakin banyak pendatang, maka semakin besar uang yang beredar di masyarakat. Contohnya seperti Yogyakarta. Sepanjang hari hingga musim libur panjang, Yogya dipenuhi oleh rakyat yang datang dari seluruh pelosok tanah air. Setiap bulan mereka dikirim duit dari kampung masing-masing; uang tersebut mereka gunakan untuk belanja di pasar, makan di warung, membayar kost-kost-an sehingga uang-uang yang ada di tangan mahasiswa ini beredar dan menggerakkan perekonomian masyarakat Yogya.

    Dari uang itu juga pemerintah memperoleh PAD dari pajak rumah sewa, warung dan lain-lain.

    Perhatikan setiap liburan panjang. Yogya sepi, karena mahasiswa pulang kampung semua, dan pada saat itu sejenak perekonomian Yogya melambat geraknya, karena orang belanja dan membayar kost sedang pulang kampung. Kelak, ketika mereka kembali kuliah, maka Yogya terasa hidup kembali karena para mahasiswa membawa dana segar dari kampung masing-masing.

    Kasus tutupnya Barata di Bireuen, benar seperti Aida bilang, mungkin karena harganya mahal, dan masyarakat tak mampu membeli dan memilih pasar tradisional sebagai tempat belanja fashion.

    BalasHapus