Rabu, 19 Januari 2011

Peluang Bisnis

Angka yang diumumkan pemerintah di setiap daerah tentang kondisi ekonomi wilayahnya adalah angka-angka yang menggembirakan secara kuantitatif sebagai bentuk komunikasi pemerintah dengan berbagai pihak dalam rangka memberikan rasa nyaman dan menumbuhkan kepercayaan akan kepemimpinan mereka.

Tetapi kenyataannya, secara kualitatif, tidaklah menguntungkan sebagaimana angka-angka di publikasikan di surat kabar tersebut, karena sebenarnya masyarakat kesulitan mencari pekerjaan, tak memiliki uang untuk belanja kebutuhan rumah tangga dan dihadapkan pada tingginya biaya karena kenaikan harga.

Pasar kita lesu tak bergairah, putaran barang yang dijajakan di toko-toko lamban bergerak, ruko baru yang banyak berdiri kosong melompong tak ada penyewa dan pembeli, di setiap blok bangunan ruko lama, selalu ada satu atau dua pintu ruko yang ditempel tulisan "disewakan" atau "dijual", tulisan ini terpampang dalam waktu yang cukup lama. Nampaknya bisnis developer sangat digemari oleh para pebisnis dan bank sebagai penyalur kredit bagi developer karena bisnis lain kurang menjanjikan dan kesulitan mendapat suntikan dana dari lembaga keuangan.

Di Banda Aceh, hingga hari ini hanya bisnis warung kopi yang tetap eksis karena kebiasaan masyarakat di Aceh sangat gemar duduk di warung kopi untuk berbagai keperluan. Namun demikian, ada juga beberapa warung kopi yang tutup atau dialihkan fungsinya untuk bisnis lain karena persaingan warung kopi juga semakin ketat.

Terlepas dari peran pemerintah, lesunya gerak ekonomi di Banda Aceh dan sekitarnya disebabkan beberapa hal; pertama, bisnis yang monoton. Tidak ada jenis bisnis baru yang dapat menarik perhatian, kebanyakan para pebisnis baru mengekor dengan kesuksesan pebisnis lama. Jika seorang pebisnis sukses di bidang developer, maka pebisnis muda ramai-ramai juga menjadi developer, atau bisnis lain yang membutuhkan modal besar seperti membuka showroom, doorsmeer, restoran cepat saji dan sejenisnya.

Kedua, Kurangnya kreatifitas. Biasanya kreatifitas muncul dalam kondisi persaingan usaha yang semakin keras dan ketat. Untuk kasus Banda Aceh dan sekitarnya, persaingan belum memperlihatkan pada level yang ketat sebagaimana halnya di kota-kota besar lainnya sehingga perilaku masyarakat masih sangat santai dan terkesan bermalas-malasan.

Ketiga, Takut mengambil resiko. Beberapa pebisnis pemula yang memiliki ide bisnis baru tidak berani mengambil resiko karena khawatir bisnis yang ditawarkan tidak mendapat sambutan pasar yang sesuai. Biasanya situasi ini karena tidak didahului oleh studi kelayakan bisnis untuk melihat berapa besar potensi pasar yang dapat menyerap produk yang ingin dilempar ke pasar.

Keempat, Ingin cepat sukses. Pebisnins pemula terlalu cepat berfikir mendahului umur usahanya karena selalu berkaca pada pebisnis yang sudah besar. Padahal pebisnis yang sukses tersebut sudah menjalani bisnisnya selama kurun waktu yang panjang. Sikap ini menjadikan pebisnis muda cepat naik dan juga cepat terpuruk.

Peluang Bisnis

Orang yang berani selalu siap menghadapi resiko karena keberaniannya muncul sudah melalui perhitungan matang dan dapat memprediksi resiko bisnis yang muncul di kemudian hari, tipe pebisnis ini adalah orang hyang sudah dapat melihat peluang bisnis yang baik. Berbeda dengan nekat, jenis sikap ini adalah sikap konyol yang melakukan sesuatu tanpa melakukan analisis terhadap resiko yang akan dihadapi serta tidak memperhitungkan ada tidaknya peluang bisnis ini.

Banda Aceh adalah ibukota provinsi yang selalu dikunjungi oleh banyak tamu dari luar kota maupun luar Aceh bahkan dari luar negeri karena Banda Aceh adalah pusat administrasi untuk Aceh. Status Banda Aceh sebagai ibukota provinsi sangat strategis jika dipandang dari segi bisnis. Pangsa pasar yang sangat heterogen menjadikan jenis bisnis yang bervariasi bisa hidup di Banda Aceh asalkan bisnis tersebut digarap dengan serius.

Bagi masyarakat yang sering berpergian ke kota-kota lain di Indonesia, tentu sangat mudah melihat peluang bisnis ini. Sebut saja misalnya bisnis waralaba yang semakin marak di Banda Aceh, hingga sekarang bertahan karena mereka memiliki sistem manajemen yang baik yang diatur seragam dari induknya. Atau bisnis kecil seperti gorengan yang ternyata memiliki peluang yang cukup besar di Banda Aceh dan sekitarnya. Umumnya bisnis ini dilakukan oleh pendatang dari luar Aceh karena mereka melihat peluang ini belum terisi, dan orang Aceh sendiri masih enggan melakukan bisnis ini karena dianggap tidak berkelas.

Banyak bisnis lain yang memiliki peluang dan potensi di Aceh, salah satunya lagi adalah bisnis pernak-pernik yang terbuat dari fiberglass sebagai souvenir bagi pendatang. Pasca tsunami, ada beberapa ikon yang didirikan pemerintah sebagai bentuk apresiasi terhadap korban tsunami, salah satunya adalah museum tsunami, kapal PLTD apung dan lain-lain. Ikon ini semua bisa dijadikan bisnis melalui penyediaan pernak-pernik seperti miniatur kapal dan museum sebagai oleh-oleh bagi pengunjung untuk dibawa pulang.

Hingga hari ini, setiap pengunjung dari luar Banda Aceh datang melihat-lihat prasasti tsunami, mereka tidak membawa sesuatu sebagai tanda kunjungan mereka kecuali berphoto di masjid raya Baiturrahman, Kapal Apung dan Museum Tsunami, hanya photo. Bisa kita bayangkan, jika ada pebisnis yang melihat peluang ini sebagai sebuah fenomena yang diramu menjadi bisnis sebenarnya. Ya, membuat pernak-pernik dari bahan fiberglass dalam bentuk miniatur..... Miniatur Menara Masjid Raya, Miniatur Kapal Apung, Miniatur Museum Tsunami, Miniatur Kapal Penyeberangan Ke Sabang, Miniatur Kilometer Nol dan banyak lagi yang dapat dijadikan miniatur sebagai oleh-oleh pengunjung untuk dibawa pulang sebagai tanda Bungong Jaroe dari Aceh.
Selamat berbisnis...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar